Minggu, 01 Juli 2012

STUDI KOMPARASI PELAKSANAAN WAKAF MENURUT IMAM SYAFI’I DAN UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA (UNU) SURAKARTA 2012
LATAR BELAKANG MASALAH
Wakaf merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi masyaratat muslim.
Wakaf selain berdimensi ubudiyah Ilahiyah, ia juga berfungsi social kemasyarakatan. Ibadah wakaf merupakan manifestasi dari rasa keimanan seseorang yang mantap dan rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan, hablum minallah wa hablum ninannas, hubungan vertikal kepada Allah dan hubungan horizontal kepada sesama manusia.
Kedudukan wakaf sebagai ibadah diharapan sebagai tabungan si wakif (orang yang berwakaf) untuk bekal di akhirat kelak. Oleh karena itu wajar jika wakaf dikelompokkan kepada amal jariyah yang tidak putus-putusnya, walaupun si wakif telah meninggal dunia. Hal ini telah dijamin Rasulullah dalam sebuah haditsnya,
“Apabila anak Adam mati, maka terputus segala bentuk amalnya (karena ia telah mati) kecuali tiga perkara (yang tetap mengalir), yaitu shadaqah jariyah (termasuk wakaf), ilmu yang bermanfaat, anak yang shalih yang senantiasa mendoakannya”. (HR. Muslim)

Dipandang dari hukum Islam, pelaksanaan wakaf sangat sederhana sekalli, ada orang yang berwakaf, ada benda yang diwakafkan, serta ada orang yang menerima wakaf (nadzir) dalam ijab. Kebiasaan berwakaf secara tradisional ini akhir-akhir ini mulai diuji. Ini sejalan dengan munculnya pihak-pihak tertentu yang ingin menyalahgunakan atau mengalihfungsikan harta wakaf menjadi milik pribadi.
Pelaksanaan wakaf yang biasa dilaksanakan sejak dahulu adalah hanya dengan mempertimbangkan agama semata tanpa diiringi dengan bukti tertulis. Karena pelaksanaan wakaf tidak melalui bukti tertulis, maka dikhawatirkan terjadi gugatan atau beralih fungsi. Dan akhirnya status wakaf kabur.
Banyak faktor yang mendorong seseorang tidak mengakui harta itu sebagai wakaf. Biasanya persoalan itu muncul dari ahli waris si pewakaf atau ahli waris si nadzir yang mengelola wakaf. Faktor lain misalnya seperti semakin sulit perekonomian saat ini atau makin langkanya tanah, semakin tingginya harga tanah serta terjadinya krisis nilai atau faktor lain. Oleh sebab itu tidah heran muncul gugatan.
Dengan melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, maka pemerintah membuat suatu aturan perwakafan yang dicantumkan dalam Undang-undang. Sehingga kita bisa optimis dengan adanya aturan-aturan oleh pemerintah tersebut, dan kemungkina terjadi gugatan wakaf semakin kecil serta kelangsungan wakaf semakin terjamin. Sejalan dengan itu, pensertifikatan tanah wakaf adalah menjadi salah satu target.
Setelah ketentuan-ketentuan itu dijalankan, tugas berikutnya adalah bagaimana mengoptimalisasikan wakaf untuk berdaya guna sebagai income umat Islam. Yaitu dengan melihat pola kerja, reinterpretasi, reorientasi, dan menganalisis ulang fiqih klasik, dengan mengambil al quwwahnya dan dari anashir al quwwah fiqh modern, dengan tetap memperhatikan maksud syar’inya.

 RUMUSAN MASALAH
Di sini dapat kami rumuskan permasalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimanakah pandangan Imam Syafi’i mengenai wakaf?
2.      Bagaimana pelaksanaan wakaf menurut UU No. 41 tahun 2004?
3.      Jelaskan persamaan dan perbedaan pendapat Imam Syafi’i dengan UU. No. 41 tahun 2004 mengenai wakaf?

  PEMBAHASAN
1.      Pandangan Imam Syafi’i tentang wakaf
a.       Pengertian wakaf
Imam Syafi’i mengemukakan bahwa wakaf yaitu menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.[1]
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa wakaf menurut Imam Syafi’i adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif dan wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan (misalnya dengan cara menukarnya dengan barang yang lain) serta ketika wakif meninggal kelak, maka harta tersebut tidak boleh diwaris oleh ahli warisnya.[2]
Dari pengertian tersebut, maka harta wakaf tidak lagi menjadi hak milik wakif, tetapi telah berubah menjadi milik Allah atau milik umum.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa syarat dan rukun wakaf adalah:
1)      Wakif, syaratnya: merdeka, baligh, berakal, sadar, pemilik benda yang diwakafkan, tidak ada paksaan dari pihak/orang lain.
2)      Maukuf (barang yang diwakafkan), syaratnya: dapat memberikan manfaat dan juga baranganya tidak habis sekali pakai.
3)      Maukuf ‘alaih (penerima wakaf), syaratnya: pihak yang menurut hukum diperkenankan melakukan transaksi maupun orang yang dalam pengampuan.
4)      Shighat. Shighat merupakan ucapan wakif yang menyatakan bahwa ia mewakafkan hartanya.
b.      Dasar hukum wakaf
Pendapat Imam Syafi’i mengenai wakaf didasarkan pada:
1)      QS. Ali Imran: 92 yang berbunyi:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

2)      QS. Al Baqarah: 267, yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

3)      Hadits Nabi
Dari Ibnu Umar R.A berkata, bahwa sahabat Umar R.A memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: “Ya Rasulallah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan tanah sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulallah menjawab: “Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya)”. Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Berkata Ibnu Umar: “Umar menyedekahkanya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau makan dengan maksud tidak menumpuk harta”. (H.R. Muslim)[3]
c.       Hukum wakaf
Para jumhur ulama’, termasuk Imam Syafi’i sepakat bahwa hukum wakaf adalah sunnah.
d.      Perubahan aset wakaf[4]
Imam Syafi’i berpendapat, dilarang keras melakukan perubahan dan penukaran tanah wakaf. Penukaran dan perubahan tanah wakaf akan membukakan jalan kepada penghapusan tujuan wakaf.
e.       Kepemilikan harta wakaf
Menurut Imam Syafi’i harta yang telah diwakafkan status kepemilikannya berpindah kepada Allah.[5]
2.      Perundang-Undangan Tentang Wakaf Di Indonesia
Dalam masalah perwakafan, pemerintah Indonesia telah mengaturnya dalam beberapa aturan, diantaranya adalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004. Undang-undang ini muncul dengan beberapa pertimbangan diantaranya:
-        Bahwa wakaf sebagai lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum.
-        Bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Di dalam Undang-undang ini dapat dilihat beberapa hal mengenai wakaf sebagai berikut:
a.       Pengertian Wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah (pasal 1 ayat 1).
Dalam pengertian ini, wakaf itu boleh selamanya dan juga boleh terikat pada waktu tertentu.[6]
b.      Fungsi wakaf
Fungsi wakaf menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004 adalah Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum (pasal 5).
c.       Syarat dan unsur wakaf
Dalam UU No. 41 tahun 2004 disebutkan bahwa unsur-unsur wakaf adalah sebagai berikut: Wakif, nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, jangka waktu wakaf. (Pasal 6)
Sedangkan syarat-syaratnya diuraikan pada pasal selanjutnya.
1)      Wakif meliputi:
a)      perseorangan; dewasa; berakal sehat; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan pemilik sah harta benda wakaf.
b)      organisasi; apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
c)      badan hukum. apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
2)      Nazhir meliputi:
a)      perseorangan; warga negara Indonesia; beragama Islam; dewasa; amanah; mampu secara jasmani dan rohani; dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
b)      Organisasi, jika memenuhi persyaratan; pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana yang dimaksud di atas; dan organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
c)      badan hukum, apabila memenuhi persyaratan: pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
3)      Harta benda wakaf
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.
Harta benda wakaf terdiri dari (pasal 16):
a)    benda tidak bergerak meliputi:
·         hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar
·         bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada poin di atas
·         tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
·         hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan yang berlaku
·         benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b)      benda bergerak meliputi:
·         uang
·         logam mulia
·         surat berharga
·         kendaraan
·         hak atas kekayaan intelektual
·         hak sewa
·         benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4)      Ikrar Wakaf
Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. Akta ikrar wakaf paling sedikit memuat:
a)      nama dan identitas Wakif;
b)      nama dan identitas Nazhir;
c)      data dan keterangan harta benda wakaf;
d)     peruntukan harta benda wakaf;
e)      jangka waktu wakaf.
5)      Peruntukan harta wakaf
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
a)      Sarana dan kegiatan ibadah
b)      Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c)      Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa
d)     Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
e)      Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
6)      Jangka waktu wakaf
Dalam UU disebutkan bahwa harta benda wakaf bisa untuk selamanya atau dalam jangka waktu tertentu.
d.      Kewajiban dan hak-hak nadzir
Jika ditinjau menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004, maka tugas nadzir adalah melakukan pengadministrasian benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntuakannya, melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (pasal 11).
Adapun hak nadzir menurut Undang-Undang tersebut adalah nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi dari 10% (pasal 12). Sealain itu, juga ditambahkan bahwa dalam melaksanakan tugas, nadzir mendapatkan pembinaan dari menteri dan badan wakaf indonesia (pasal 13), selain itu nadzir juga harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia (pasal 14 ayat 1).
e.       Perubahan benda wakaf
Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004, perubahan status harta benda wakaf yang telah diwakafkan boleh dilakukan dengan syarat dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, kecuali untuk kepentingan umum.

PENUTUP
KESIMPULAN
1.      Wakaf menurut Imam Syafi’i adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.
2.      Pengertian wakaf menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004 yaitu, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
3.      Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat kami tarik sebuah pemahaman bahwa antara pendapat Imam Syafi’i dan UU No. 41 tahun 2004 memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dalam menanggapi kedudukan harta wakaf ini. Adapun persamaan dan perbedaan tersebut diantaranya :
a.       Persamaan
1)      Selama wakaf, status harta wakaf adalah milik Allah/milik umum
Hal ini tentu dapat dipahami karena setiap harta yang diwakafkan memang diniatkan untuk kepentingan umum atau untuk Allah. Selama dalam masa itu pula, secara otomatis kedudukan barang itu bukan lagi menjadi milik wakif.
2)      Yang disedekahkan adalah manfaat
Tujuan dan fungsinya sama-sama dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat.
b.      Perbedaan
1)      Menurut imam Syafi’i, wakaf untuk selamanya.
Sedangkan menurut UU No. 41 tahun 2004, wakaf itu boleh selamanya dan juga boleh terikat pada waktu tertentu.
2)      Menurut imam Syafi’i wakaf itu adalah milik Allah karena beliau memegang prinsip kehati-hatian.
Menurut UU, harta wakaf masih bisa menjadi hak milik seseorang karena dalam UU masih terdapat ketentuan berlakunya (penguasaan harta wakaf ada dalam jangka waktu tertentu).
3)      Imam Syafi’i berpendapat bahwa rukun wakaf adalah: Wakif, Maukuf (barang yang diwakafkan), Maukuf ‘alaih (penerima wakaf), Shighat.
Sedangkan dalam UU No. 41 tahun 2004 disebutkan bahwa unsur-unsur wakaf (rukun wakaf) ada 6, yaitu: Wakif, nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, jangka waktu wakaf
4)      Imam Syafi’i berpendapat, dilarang keras melakukan perubahan dan penukaran tanah wakaf. Penukaran dan perubahan tanah wakaf akan membukakan jalan kepada penghapusan tujuan wakaf.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004, perubahan status harta benda wakaf yang telah diwakafkan boleh dilakukan dengan syarat dilarang untuk dijadikan; jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, kecuali untuk kepentingan umum.

DAFTAR PUSTAKA
Halim, Abdul. 2005. Hukum perwakafan di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press
Undang-undang Perwakafan Nomor 41 tahun 2004
Syaltout, Mahmud dan M. Ali As Sayis. 1993. Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang
http://www. Blogger. Com/post. Create./perubahanwakaf.htm
http://muslim.or.id/biografi/imam-syafii-sang-pembela-sunnah-dan-hadits-nabi.html


[1] Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf Dan Perwakafan Di Indonesia (Pasuruan: PT. Garuda Buana Indah, 2004), 2.
[2] Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia Sejarah, Pemikiran, Hukum, Dan Perekembanganya (Bandung: Yayasan PIARA, 1995), 19.
[3] Ibid, 12-13
[4] http://www. Blogger. Com/post. Create./perubahanwakaf.htm (di akses 20 Juli 2010)
[5] Syaikh Mahmud Syaltout dan Syaikh M. Ali As Sayis, Perbandingan Madzhab Dalam Masalh Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 259.
[6] http://hukum.unsrat.ac.id/pp/uu_41_2004.htm; DEPAG, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis Di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), 20.