UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA (UNU) SURAKARTA 2012
LATAR
BELAKANG MASALAH
Wakaf merupakan
salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Ia mempunyai jalinan
hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi masyaratat
muslim.
Wakaf selain
berdimensi ubudiyah Ilahiyah, ia juga berfungsi social kemasyarakatan. Ibadah
wakaf merupakan manifestasi dari rasa keimanan seseorang yang mantap dan rasa
solidaritas yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat
hubungan, hablum minallah wa hablum ninannas, hubungan vertikal kepada
Allah dan hubungan horizontal kepada sesama manusia.
Kedudukan wakaf
sebagai ibadah diharapan sebagai tabungan si wakif (orang yang berwakaf) untuk
bekal di akhirat kelak. Oleh karena itu wajar jika wakaf dikelompokkan kepada
amal jariyah yang tidak putus-putusnya, walaupun si wakif telah meninggal
dunia. Hal ini telah dijamin Rasulullah dalam sebuah haditsnya,
“Apabila anak Adam mati, maka terputus segala bentuk
amalnya (karena ia telah mati) kecuali tiga perkara (yang tetap mengalir),
yaitu shadaqah jariyah (termasuk wakaf), ilmu yang bermanfaat, anak yang shalih
yang senantiasa mendoakannya”. (HR. Muslim)
Dipandang dari hukum
Islam, pelaksanaan wakaf sangat sederhana sekalli, ada orang yang berwakaf, ada
benda yang diwakafkan, serta ada orang yang menerima wakaf (nadzir) dalam ijab.
Kebiasaan berwakaf secara tradisional ini akhir-akhir ini mulai diuji. Ini
sejalan dengan munculnya pihak-pihak tertentu yang ingin menyalahgunakan atau
mengalihfungsikan harta wakaf menjadi milik pribadi.
Pelaksanaan wakaf
yang biasa dilaksanakan sejak dahulu adalah hanya dengan mempertimbangkan agama
semata tanpa diiringi dengan bukti tertulis. Karena pelaksanaan wakaf tidak
melalui bukti tertulis, maka dikhawatirkan terjadi gugatan atau beralih fungsi.
Dan akhirnya status wakaf kabur.
Banyak faktor yang
mendorong seseorang tidak mengakui harta itu sebagai wakaf. Biasanya persoalan
itu muncul dari ahli waris si pewakaf atau ahli waris si nadzir yang mengelola
wakaf. Faktor lain misalnya seperti semakin sulit perekonomian saat ini atau
makin langkanya tanah, semakin tingginya harga tanah serta terjadinya krisis
nilai atau faktor lain. Oleh sebab itu tidah heran muncul gugatan.
Dengan melihat
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, maka pemerintah membuat suatu aturan
perwakafan yang dicantumkan dalam Undang-undang. Sehingga kita bisa optimis
dengan adanya aturan-aturan oleh pemerintah tersebut, dan kemungkina terjadi gugatan
wakaf semakin kecil serta kelangsungan wakaf semakin terjamin. Sejalan dengan
itu, pensertifikatan tanah wakaf adalah menjadi salah satu target.
Setelah
ketentuan-ketentuan itu dijalankan, tugas berikutnya adalah bagaimana
mengoptimalisasikan wakaf untuk berdaya guna sebagai income umat Islam. Yaitu
dengan melihat pola kerja, reinterpretasi, reorientasi, dan menganalisis ulang
fiqih klasik, dengan mengambil al quwwahnya dan dari anashir al
quwwah fiqh modern, dengan tetap memperhatikan maksud syar’inya.
Di sini dapat kami
rumuskan permasalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimanakah pandangan Imam Syafi’i mengenai wakaf?
2. Bagaimana pelaksanaan wakaf menurut UU No. 41
tahun 2004?
3. Jelaskan persamaan dan perbedaan pendapat
Imam Syafi’i dengan UU. No. 41 tahun 2004 mengenai wakaf?
1. Pandangan Imam Syafi’i tentang wakaf
a. Pengertian wakaf
Imam Syafi’i mengemukakan bahwa wakaf yaitu menahan harta
yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas
dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan
oleh agama.[1]
Dari
pengertian di atas, dapat diketahui bahwa wakaf menurut Imam Syafi’i adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif dan wakif tidak boleh
melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan (misalnya dengan cara
menukarnya dengan barang yang lain) serta ketika wakif meninggal kelak, maka
harta tersebut tidak boleh diwaris oleh ahli warisnya.[2]
Dari
pengertian tersebut, maka harta wakaf tidak lagi menjadi hak milik wakif,
tetapi telah berubah menjadi milik Allah atau milik umum.
Imam Syafi’i
berpendapat bahwa syarat dan rukun wakaf adalah:
1) Wakif, syaratnya: merdeka, baligh, berakal,
sadar, pemilik benda yang diwakafkan, tidak ada paksaan dari pihak/orang lain.
2) Maukuf (barang yang diwakafkan), syaratnya:
dapat memberikan manfaat dan juga baranganya tidak habis sekali pakai.
3) Maukuf ‘alaih (penerima wakaf), syaratnya:
pihak yang menurut hukum diperkenankan melakukan transaksi maupun orang yang
dalam pengampuan.
4) Shighat. Shighat merupakan ucapan wakif yang
menyatakan bahwa ia mewakafkan hartanya.
b. Dasar hukum wakaf
Pendapat
Imam Syafi’i mengenai wakaf didasarkan pada:
1) QS. Ali Imran: 92 yang berbunyi:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
2) QS. Al Baqarah: 267, yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
3) Hadits Nabi
Dari Ibnu Umar R.A berkata, bahwa sahabat
Umar R.A memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada
Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: “Ya Rasulallah, saya
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan tanah
sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulallah menjawab:
“Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan
(hasilnya)”. Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan
dan tidak diwariskan. Berkata Ibnu Umar: “Umar menyedekahkanya kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil, dan
tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu
(pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau
makan dengan maksud tidak menumpuk harta”. (H.R. Muslim)[3]
c. Hukum wakaf
Para
jumhur ulama’, termasuk Imam Syafi’i sepakat bahwa hukum wakaf adalah sunnah.
d. Perubahan aset wakaf[4]
Imam Syafi’i
berpendapat, dilarang keras melakukan perubahan dan penukaran tanah wakaf.
Penukaran dan perubahan tanah wakaf akan membukakan jalan kepada penghapusan
tujuan wakaf.
e. Kepemilikan harta wakaf
Menurut
Imam Syafi’i harta yang telah diwakafkan status kepemilikannya berpindah kepada
Allah.[5]
2. Perundang-Undangan Tentang Wakaf Di Indonesia
Dalam
masalah perwakafan, pemerintah Indonesia telah mengaturnya dalam beberapa
aturan, diantaranya adalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004. Undang-undang
ini muncul dengan beberapa pertimbangan diantaranya:
-
Bahwa wakaf sebagai lembaga keagamaan yang memiliki
potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk
kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum.
-
Bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama
hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat yang pengaturannya belum lengkap serta
masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Di
dalam Undang-undang ini dapat dilihat beberapa hal mengenai wakaf sebagai
berikut:
a. Pengertian Wakaf
Wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah (pasal 1 ayat 1).
Dalam
pengertian ini, wakaf itu boleh selamanya dan juga boleh terikat pada waktu
tertentu.[6]
b. Fungsi wakaf
Fungsi
wakaf menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004 adalah Wakaf berfungsi mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum (pasal 5).
c. Syarat dan unsur wakaf
Dalam
UU No. 41 tahun 2004 disebutkan bahwa unsur-unsur wakaf adalah sebagai berikut:
Wakif, nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf,
jangka waktu wakaf. (Pasal 6)
Sedangkan
syarat-syaratnya diuraikan pada pasal selanjutnya.
1) Wakif meliputi:
a)
perseorangan; dewasa; berakal sehat; tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum; dan pemilik sah harta benda wakaf.
b)
organisasi; apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk
mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar
organisasi yang bersangkutan.
c)
badan hukum. apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk
mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar
badan hukum yang bersangkutan.
2) Nazhir meliputi:
a)
perseorangan; warga negara Indonesia; beragama Islam;
dewasa; amanah; mampu secara jasmani dan rohani; dan tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum.
b)
Organisasi, jika memenuhi persyaratan; pengurus
organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan
sebagaimana yang dimaksud di atas; dan organisasi yang bergerak di bidang
sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
c)
badan hukum, apabila memenuhi persyaratan: pengurus badan
hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan badan hukum yang bersangkutan
bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan
Islam.
3) Harta benda wakaf
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai
oleh wakif secara sah.
Harta benda wakaf
terdiri dari (pasal 16):
a)
benda tidak bergerak meliputi:
·
hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar
·
bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
sebagaimana dimaksud pada poin di atas
·
tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
·
hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang.undangan yang berlaku
·
benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b)
benda bergerak meliputi:
·
uang
·
logam mulia
·
surat berharga
·
kendaraan
·
hak atas kekayaan intelektual
·
hak sewa
·
benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Ikrar Wakaf
Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar
wakaf. Akta ikrar wakaf paling sedikit memuat:
a)
nama dan identitas Wakif;
b)
nama dan identitas Nazhir;
c)
data dan keterangan harta benda wakaf;
d)
peruntukan harta benda wakaf;
e)
jangka waktu wakaf.
5)
Peruntukan harta wakaf
Dalam rangka
mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan
bagi:
a)
Sarana dan kegiatan ibadah
b)
Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c)
Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu,
beasiswa
d)
Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
e)
Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak
bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
6)
Jangka waktu wakaf
Dalam UU disebutkan
bahwa harta benda wakaf bisa untuk selamanya atau dalam jangka waktu tertentu.
d. Kewajiban dan hak-hak nadzir
Jika ditinjau
menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004, maka tugas nadzir adalah melakukan
pengadministrasian benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntuakannya, melaporkan pelaksanaan tugas
kepada Badan Wakaf Indonesia (pasal 11).
Adapun
hak nadzir menurut Undang-Undang tersebut adalah nadzir dapat menerima imbalan
dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang
besarnya tidak melebihi dari 10% (pasal 12). Sealain itu, juga ditambahkan
bahwa dalam melaksanakan tugas, nadzir mendapatkan pembinaan dari menteri dan
badan wakaf indonesia (pasal 13), selain itu nadzir juga harus terdaftar pada
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia (pasal 14 ayat 1).
e. Perubahan benda wakaf
Menurut
Undang-Undang No. 41 tahun 2004, perubahan status harta benda wakaf yang telah
diwakafkan boleh dilakukan dengan syarat dilarang untuk dijadikan jaminan,
disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk
pengalihan hak lainnya, kecuali untuk kepentingan umum.
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Wakaf menurut Imam Syafi’i adalah menahan harta yang
dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas dari
penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh
agama.
2.
Pengertian wakaf menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004
yaitu, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
3.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat kami tarik
sebuah pemahaman bahwa antara pendapat Imam Syafi’i dan UU No. 41 tahun 2004 memiliki
beberapa persamaan dan perbedaan dalam menanggapi kedudukan harta wakaf ini.
Adapun persamaan dan perbedaan tersebut diantaranya :
a. Persamaan
1)
Selama wakaf, status harta wakaf adalah milik Allah/milik
umum
Hal ini tentu dapat dipahami karena setiap
harta yang diwakafkan memang diniatkan untuk kepentingan umum atau untuk Allah.
Selama dalam masa itu pula, secara otomatis kedudukan barang itu bukan lagi
menjadi milik wakif.
2)
Yang disedekahkan adalah manfaat
Tujuan dan fungsinya sama-sama dimanfaatkan
untuk kemaslahatan umat.
b. Perbedaan
1)
Menurut imam Syafi’i, wakaf untuk selamanya.
Sedangkan menurut UU No. 41 tahun 2004, wakaf itu boleh
selamanya dan juga boleh terikat pada waktu tertentu.
2)
Menurut imam Syafi’i wakaf itu adalah milik Allah karena
beliau memegang prinsip kehati-hatian.
Menurut UU, harta wakaf masih bisa menjadi hak milik
seseorang karena dalam UU masih terdapat ketentuan berlakunya (penguasaan harta
wakaf ada dalam jangka waktu tertentu).
3) Imam Syafi’i berpendapat bahwa rukun wakaf
adalah: Wakif, Maukuf (barang yang diwakafkan), Maukuf ‘alaih (penerima wakaf),
Shighat.
Sedangkan dalam UU No. 41 tahun 2004 disebutkan bahwa
unsur-unsur wakaf (rukun wakaf) ada 6, yaitu: Wakif, nazhir, harta benda wakaf,
ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, jangka waktu wakaf
4)
Imam Syafi’i berpendapat, dilarang keras melakukan
perubahan dan penukaran tanah wakaf. Penukaran dan perubahan tanah wakaf akan
membukakan jalan kepada penghapusan tujuan wakaf.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 41 tahun
2004, perubahan status harta benda wakaf yang telah diwakafkan boleh dilakukan
dengan syarat dilarang untuk dijadikan; jaminan, disita, dihibahkan, dijual,
diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya,
kecuali untuk kepentingan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Halim,
Abdul. 2005. Hukum perwakafan di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press
Undang-undang
Perwakafan Nomor 41 tahun 2004
Syaltout, Mahmud dan M. Ali As Sayis. 1993. Perbandingan
Madzhab Dalam Masalah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang
http://www. Blogger. Com/post.
Create./perubahanwakaf.htm
http://muslim.or.id/biografi/imam-syafii-sang-pembela-sunnah-dan-hadits-nabi.html
[1] Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf Dan Perwakafan Di
Indonesia (Pasuruan: PT. Garuda Buana Indah, 2004), 2.
[2] Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia Sejarah,
Pemikiran, Hukum, Dan Perekembanganya (Bandung: Yayasan PIARA, 1995), 19.
[3] Ibid, 12-13
[4] http://www. Blogger. Com/post.
Create./perubahanwakaf.htm (di akses 20 Juli 2010)
[5] Syaikh Mahmud Syaltout dan Syaikh M. Ali As Sayis, Perbandingan
Madzhab Dalam Masalh Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 259.
[6] http://hukum.unsrat.ac.id/pp/uu_41_2004.htm; DEPAG, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif
Strategis Di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen
Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), 20.